outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal
64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004)
·
DEFINISI
OUTSOURCING (Alih Daya)
Alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian
dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri
kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft
revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing
(Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke
arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
- penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
- pekerjaan yang diserahkan pada
pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
- perusahaan lain (yang
diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
- perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
- hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
- hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
- bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur
bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan
penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
- adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
- perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
- perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh
merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas
tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.[15]
IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]
IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]
- Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
- Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
- Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
- Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang
tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang
pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa
pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga
kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan
yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi
persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan
hidup dan perkembangan perusahaan.[19]
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
- Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
- Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
- Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
·
Contoh
Kasus Tentang Outsourcing di perusahaan
JAKARTA,
KOMPAS.com-Manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT)
diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan outsourcing di
terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan. “Sistem outsourcing harus segera dihapus
karena akan berdampak pada implementasi International Ships and Port Security
(ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung Priok. Pekerja outsourcing harus diangkat
sebagai karyawan organik,” kata Koordinator International Transport Worker’s
Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, dalam siaran persnya di
Jakarta, Rabu (21/4/2010). Dikatakannya, ITF sangat prihatin dengan sikap
manajemen JICT yang tidak peduli dengan nasib pekerja dengan mengabaikan nota
pemeriksaan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans)
yang merekomendasikan agar para pekerja outsourcing diangkat menjadi
karyawan tetap. Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja tersebut,
Kemenakertrans pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada manajemen JICT.
Intinya, JICT diminta melaksanakan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan
mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan organik. “Namun hingga saat ini
permintaan Kemenakertrans tersebut tidak digubris,” katanya.
Kasus
ini mencuat setelah ribuan pekerja outsourcing di pelabuhan/terminal
petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap. Kontrak kerja outsourcing
ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa vendor, yakni PT Philia
Mandiri Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan Koperasi Karyawan JICT. Mereka
antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane, head truck,
quay crane, radio officer, dan maintenance. “Pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada
di lini satu pelabuhan/terminal peti kemas,” kata Hanafi yang juga Presiden
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI). Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun
statusnya tidak berubah. Gajinya yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15 persen
dari gaji karyawan organik JICT. Kondisi itu dinilai sebagai diskriminasi upah.
Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing terkena PHK.
Mereka kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang sempat
melumpuhkan kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Unjuk rasa
kemudian dilanjutkan di Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan BUMN. Namun
hingga kini nasib pekerja masih terkatung-katung.
Hanafi
Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan, mempekerjakan karyawan
dengan sistem outsourcing bertentangan dengan implementasi ISPS Code
yang harus dilaksanakan JICT. Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan,
area lini satu atau kegiatan yang langsung berhubungan dengan proses
ekspor/impor barang, dan loading/discharging container, merupakan area
tertutup yang tidak boleh dimasuki orang yang bukan pekerja organik. “Jika, di
area ini orang bebas masuk, termasuk pekerja outsourcing, validitas
keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” katanya. Untuk
memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional, manajemen
JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat mereka
sebagai karyawan organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan sesuai standar
hidup yang layak, untuk mencegah terjadinya gejolak atau pemogokan yang bisa
mengancam kegiatan di pelabuhan.