Jokowi dan Prabowo (FB Prabowo Subianto / Tribunews.com)
Pada artikel saya sebelumnya (Jokowi Presiden, Mungkin Memang Kehendak Yang Maha Kuasa),
saya mencoba melihat dari sisi positif mengenai ikut majunya Jokowi
dalam bursa capres 2014, meskipun yang bersangkutan seharusnya masih
menjalani jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun
2017.
Artikel saya itu jika dikaitkan dengan sebuah artikel yang saya buat 6 bulan sebelumnya, tepatnya pada 15 September 2013 (Akankah Jokowi Tak Sengaja Menjadi Presiden RI)
bisa dijadikan semacam dasar pengetahuan mengenai latar belakang,
kondisi dan kronologis memahami Jokowi, apa, bagaimana dan kenapa sampai
Jokowi bisa menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian
diberi mandat oleh PDIP untuk nyapres di Pilpres 2014 ini.
Sejak
dari menjadi Walikota Solo sampai dengan menjadi Gubernur DKI Jakarta,
kemudian diberi mandat sebagai capres dari PDIP, semuanya bukan bertolak
dari inisiatif dan ambisi pribadi Jokowi, Jokowi tidak “menyodorkan
dirinya” untuk itu, melainkan dia benar-benar menjadi demikian karena
ditugaskan oleh partainya (murni panggilan tugas). Dari rekam jejaknya
pun tidak ada satu pun bukti bahwa selama 7 tahun menjadi Walikota Solo
dan hampir 2 tahun ini menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah
memanfaatkan jabatannya itu untuk kepentingan pribadi (memperkayakan
diri), keluarga, maupun partainya. Jokowi dan keluarganya juga tidak
mempunyai perusahaan-perusahaan besar yang berpotensi untuk terjadinya
konflik kepentingan jika dia kelak menjadi Presiden.
Namun,
seperti yang sudah gampang ditebak sebelumnya, momen pendeklarasian
Jokowi sebagai capres itu pun langsung direspon dan dimanfaatkan
lawan-lawan politiknya, terutama kompetitor sesama capres dan para
simpatisan mereka untuk digunakan sebagai senjata menghantam Jokowi.
Apalagi kalau bukan tuduhan Jokowi sebagai kutu loncat, pembohong,
pengkhianat, haus kuasa, gila kuasa, presiden boneka, dan seterusnya.
Sempat ditayangkan pula iklan yang khusus dibuat sedemikian rupa, yang
isinya memuat kumpulan janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan aneka
problem Jakarta dengan program-programnya, komitmen Jokowi untuk
menyelesaikan tugas jabatannya, dan pernyataannya tidak tertarik maju
dalam Pilpres 2014. Entah siapa yang membuat dan menyebarkan iklan itu,
besar kemungkinan itu dari mereka yang merasa elektabilitasnya terancam
dengan ikut bersaingnya Jokowi dalam bursa Pilpres 2014 ini.
Murkanya Prabowo Subianto
Jokowi
pun kemudian dibanding-bandingkan bakal capres terkuat kedua setelah
Jokowi versi lembaga-lembaga survei, yakni Prabowo Subianto, yang juga
adalah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Sebelum Jokowi masuk dalam
bursa survei, Prabowo Subianto adalah capres terbesar elektalibitasnya.
Tetapi, begitu nama Jokowi dimasukkan dalam survei, nama Prabowo
langsung tergeser ke urutan kedua.
Karena
ambisinya menjadi presiden sangat besar, tetapi rasa percaya dirinya
yang tidak sebesar ambisinya itu, pengdeklarasian Jokowi sebagai capres
dari PDIP itu membuat resah, dan kemudian mengumbar kemarahannya.
Prabowo murka, sasarannya Jokowi.
Saking
geramnya Prabowo, dalam hampir setiap kali kampanyenya di Pileg 2014,
dia melakukan serangan berupa sindiran-sindiran yang sangat tajam yang
ditujukan kepada Jokowi. Sampai-sampai pakar komunikasi dari Universitas
Indonesia, Tjipta Lesmana, menyebutkan Prabowo terlalu sadis dalam
melontarkan kegusarannya itu. Beberapa pernyataan “sadis” Prabowo yang
dilontarkan dalam bentuk sindiran kepada Jokowi itu antara lain (merdeka.com):
“Maaf,
pemimpin di Jakarta lupa dengan rakyat. Sudah duduk lupa janji. Tapi
rakyat Indonesia tidak mau dibohongi lagi. Rakyat Indonesia bukan
orang-orang bodoh.”
“Kita
saat di militer dipimpin dengan keras, komandan kita cerewetnya tidak
main-main. Mereka singa anak buahnya pun menjadi singa. Tapi kalau singa
dipimpin kambing, nanti singanya bersuara kambing,”
Menyindir Jokowi sebagai capres boneka: “”Kalian mau dipimpin boneka-boneka? Mau punya presiden boneka?”
“Budaya mencla-mencle,
plin-plan, budaya lain di hati lain di mulut. Tinggi gunung, seribu
janji, dan janji tidak ditepati, kita tidak butuh pemimpin seperti itu.”
Prabowo juga sempat membaca puisi yang menyindir Jokowi dan Megawati, bunyinya:
“Boleh berbohong asal santun
Boleh mencuri asal santun
Boleh korupsi asal santun
Boleh menipu rakyat asal santun
Boleh menjual negeri pada orang lain asal santun
Boleh merampok asal santun”
Demikianlah
antara lain cara Prabowo menyerang Jokowi (dan Megawati). Khusus
Megawati, Prabowo marah karena menganggap Megawati mengkhianati
Perjanjian Batu Tulis yang pernah mereka tandatangani bersama ketika
keduanya maju sebagai pasangan capres-cawapres di Pilpres 2009, yang
pada poin ketujuhnya menyatakan Megawati berjanji untuk mendukung
Prabowo sebagai capres di Pilpres 2014. Tentang hal ini silakan baca
artikel saya yang berjudul Perspektif Hukum Perdata terhadap Perjanjian Batu Tulis.
Cara dan
sikap reaktif-emosionalnya Prabowo terhadap pencapresan Jokowi tersebut
secara tak langsung memberi indikasi kebenaran sinyalemen yang
mengatakan tentang sosok Prabowo yang temperamental, sulit mengendalikan
emosinya jika merasa ditantang. Bagaimana bisa menjadi presiden kalau
menghadapi problem seperti ini saja tidak bisa mengendalikan emosinya.
Bagaimana nanti kalau menghadapi aneka persoalan bangsa yang jauh lebih
rumit dan ruwet? Kalau jadi presiden, jangan-jangan nanti ada menterinya
yang cidera karena menjadi sasaran kemarahannya.
Hal ini
diperburuk dengan adalah pendamping Prabowo di Gerindra, yang
kelihatannya mempunyai watak “sebelas-duabelas” dengan Prabowo, yaitu
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon yang sejak Jokowi nyapres suka mengejek-ejek dan merendahkan Jokowi dengan puisi-puisinya. Yang terakhir adalah puisinya yang dia beri judul “Raisoopo-opo” yang disebarkan ke publik, kemarin, Rabu, 16 April 2014.
Sikap-sikap seperti ini memperlihatkan kepada kita bagaimana sebenarnya kualitas kepimpinan Prabowo cs,
yang kelihatannya saja gagah dan tegas, tetapi ternyata isinya mental
“rombengan.” Bagaimana bisa mereka menghargai rakyat, menghargai
demokrasi, dan menghadapi kritik-kritik kelak, apabila dengan saingan
capres-nya saja sikapnya sudah seperti ini.
Para
pendukung dan simpatisan Prabowo Subianto pun mengamini semua pernyataan
sindirian “sadis” Prabowo kepada Jokowi itu. Bersamaan dengan itu
mereka memuji-muji Prabowo sebagai sosok capres yang paling tepat,
karena sosoknya yang gagah, tegas, punya visi dan misi yang jelas, dan
sebagainya.
Mereka
seolah-olah lupa, mengabaikan, atau tidak tahu mengenai rekam jejak
Prabowo yang kelam di masa lalu. Diduga meningkat secara signifikannya
suara Partai Gerindra di Pileg 2014 ini dikarenakan banyak generasi
muda, pemilih pemula yang menjatuhkan suaranya kepada Gerindra karena
terpengaruh penampilan Prabowo yang gagah itu. Generasi yang tidak
mengetahui sejarah rekam jejak Prabowo di masa lalu itu.
Rekam Jejak Masa Lalu Prabowo
Pada
tahun 1997-1998 ketika rezim Soeharto semakin terancam jatuh oleh
berbagai aksi perlawanan rakyat pro-reformasi dan demokrasi, yang
dimotori para mahasiswa dan dibekengi oleh tokoh-tokoh masyarakat, rezim
itu menggunakan segala cara untuk mempertahankannya. Cara-cara represif
dan teror khas diktator yang selama ini sukses melestarikan kekuasaan
rezim itu pun semakin ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, termasuk
dan terutama menculik sejumlah aktivis oleh tim-tim siluman di luar
undang-undang, dari militer/ Kopassus, dengan maksud dapat membungkam
aksi-aksi demonstrasi antiSoeharto itu. Tiga belas orang dari mereka
yang diculik sampai hari ini belum kembali, diduga telah tewas dibunuh.
Salah satu aktor utama penculikan itu adalah Komandan Jenderal (Danjen)
Kopassus saat itu, Letjen TNI Prabowo Subianto. Prabowo sudah mengakui
perbuatannya itu.
Dia
membentuk Tim Mawar dengan 11 anggota Kopassus, anak buahnya. Mereka
menculik 9 orang aktivis. Selama penculikan para aktivis itu disiksa
dengan cara-cara di luar batas peri kemanusiaan untuk mengetahui misi
mereka dan siapa saja teman-temannya, serta agar menjadi ketakutan, dan
tidak berani lagi melawan Soeharto Mengecam Soeharto identik dengan
tindakan subversif. Salah satunya korban penculikan itu adalah Faisol
Riza. Pengalamannya semasa berada dalam sekapan para penculik dari Tim
Mawar itu pernah disampaikan lewat kicauan Twitter-nya dan dimuat di Merdeka.com.
Foto 13 aktivis pro reformasi saat unjuk rasa di Bundaran HI (2011), yang diculik dan masih hilang sampai sekarang (Kompas.com)
Prabowo
mengatakan dia hanya bertanggung jawab terhadap penculikan yang
dilakukan oleh Tim Mawar. Para korban penculikannya itu, katanya, semua
kembali dalam keadaan selamat, bahkan beberapa di antaranya menjadi
pengurus teras Partai Gerindra. Sedangkan terhadap penculikan aktivis
lain, termasuk mereka yang belum kembali itu, Prabowo mengaku tidak
mengetahuinya. Prabowo juga mengaku bahwa aksi penculikan tersebut
berdasarkan perintah dari atasannya. Siapa saja mereka yang turut
melakukan penculikan-penculikan itu, siapakah otak utamanya, apakah
Panglima ABRI, atau Presiden Soeharto, dan lain-lain? Sampai hari ini
rahasianya masih disimpan Prabowo. Layakkah dengan status seperti ini
Prabowo mau menjadi presiden?
Pengakuan
Prabowo bahwa semua aktivis yang diculik timnya itu kembali dengan
selamat, bertentangan dengan keterangan yang disampaikan oleh Pius
Lustrilanang, salah satu korban penculikan Tim Mawar, sebagaimana dimuat
di Tempo.co.
Pius bersaksi, ketika berada di dalam penyekapan para penculiknya, dia
sempat berkomunikasi dengan tiga aktivis lainnya, yaitu, Herman
Hendrawan, Yani Afri, dan Soni. Tiga orang ini termasuk mereka yang
sampai hari ini belum kembali. Ketika dibebaskan, Pius mengecek tiga
rekannya ini yang katanya dibebaskan terlebih dulu daripadanya, tetapi
ternyata mereka tidak kembali. Pius menulis, ”Saya lalu teriingat pada
perkataan salah seorang penculik: ‘Ada yang keluar (dalam keadaan) hidup
dan ada yang keluar (dalam keadaan) mati dari tempat ini’.
Pada
April 1999 anggota Kopassus yang bergabung dalam Tim Mawar itu telah
menjalani peradilan militer dan divonis bersalah. Sedangkan, khusus
untuk Prabowo, berdasarkan rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira
yang khusus dibentuk untuk kasus tersebut, Panglima ABRI ketika itu,
Prabowo dinilai bersalah, tetapi hanya menjatuhkan sanksi politik
kepadanya, yaitu pemecatan (pensiun dini) dari kedinasannya di ABRI
(sekarang TNI). Prabowo pun pensiun dengan pangkat terakhir Letnan
Jenderal.
Jadi,
sampai hari ini Prabowo tidak pernah menjalani peradilan militer, dia
hanya dijatuhkan sanksi secara politik. Sejak saat itu juga Amerika
Serikat tidak mengizinkan Prabowo masuk ke negara mereka dengan alasan
Prabowo telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Pada
September 2009, Pansus Orang Hilang pernah merekomendasikan pemerintah
dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc
untuk mengadili para aktor penculikan aktivis di tahun 1997-1998 itu,
tetapi rekomendasi itu tidak pernah dilaksanakan.
Selain
itu, Prabowo juga banyak dituding bertanggung jawab atas tragedi
kerusuhan Mei 1998, yang membakar Jakarta selama beberapa hari, dengan
korban jiwa yang mencapai seribu lebih orang itu, termasuk korban-korban
pemerkosaan dari etnis Tionghoa.
(Rekomendasi: Baca buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa, — Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Penerbit Solidaritas Nusa Bangsa dan Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, Edisi Revisi: Mei 2007)
Di dalam bukunya yang berjudul Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Penerbit
Buku Kompas, 2014), Jusuf Wanandi, salah seorang pendiri CSIS ada
sedikit menyinggung masa-masa menjelang kerusuhan Mei 1998 itu.
Menurut
dia, yang melakukan penyerangan terhadap kantor pusat PDI pada 27 Juli
1996 adalah massa preman yang dikerahkan oleh beberapa jenderal TNI. Dua
tahun kemudian (1998) hal itu diulangi lagi. Sebelum kerusuhan Mei
1998 meledak, diketahui Letjen Prabowo Subianto mengerahkan kelompok
ektremis untuk menghadapi mahasiswa. “Ketika itu sebagai Komandan
Kopassus, ia mengadakan acara buka puasa di rumahnya yang dihadiri oleh
hampir 3.000 orang yang terdiri dari kelompok garis keras kanan,” tulis
Jusuf Wanandi di bukunya itu (halaman 376).
Doa bersama di Monumen 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti(Antara/ Dhoni Setiawan)
Berita utama Harian Kompas (Selasa, 22/08/1998) ttg pemecatan Prabowo
dari ABRI karena kasus penculikan (sumber: @Fadjroel Rahman)
Pasukan Paramiliter di Timor Timur (1995)
Dalam bukunya yang berjudul Timor-Timur, The Untold Story (Penerbit
Buku Kompas, 2012), Letjen (Purn.) Kiky Syahnakri, Komandan Korem Timor
Timur pada 1995, mengakui tentang adanya pasukan paramiliter ilegal
yang melakukan teror dan pembunuhan di Timor Timur ketika itu.
Pasukan
paramiliter di luar struktur ABRI (ilegal) itu dikabarkan dibentuk oleh
Prabowo Subianto yang ketika itu adalah Wakil Komandan Kopassus.
Pasukan sipil ilegal berpakaian ala ninja itu diterjunkan di Timor Timur
yang ketika itu sedang bergejolak untuk melancarkan teror ke warga
sipil dalam rangka melawan kelompok gerilyawan Xanana Gusmao.
Pembentukan kelompok paramiliter itu dibuat dengan maksud agar aksi-aksi
teror ke warga sipil itu tidak dapat diminta pertanggungjawabannya ke
ABRI.
Prabowo
sendiri mengakui bahwa ia memfasilitasi pembentukan pasukan yang
terdiri dari kalangan pendukung pro-integrasi, tetapi ia membantah bahwa
pasukan paramiliter itu membunuhi masyarakat sipil.
Jadi, kelihatannya melakukan aksi-aksi teror di luar struktur resmi ABRI sudah merupakan ciri khas Prabowo sejak dulu.
Apakah
“hobbi” seperti ini tidak akan kambuh lagi, jika Prabowo merasa
terdesak ketika dia mempunyai kekuatan untuk melakukannya lagi?
Seandainya Dulu Gerakan Pro-Reformasi Berhasil Ditumpas
Prabowo
memang telah membantah bahwa dirinya sebagai satu-satunya yang
bertanggung jawab atau otak dari kerusuhan itu, tetapi, seharusnya,
terlepas dari terbukti bersalah atau tidaknya Prabowo, sebelum
mengajukan diri sebagai presiden, dia terlebih dulu membuka semua
misteri tersebut sebatas yang diua ketahui untuk kemudian bisa
ditindaklanjuti investigasinya oleh yang berwenang. Termasuk siapa
sebenarnya yang penanggung jawab utama (pemberi perintah)
penculikan-penculikan itu, apakah benar dia hanya bertanggung jawab atas
9 aktivis yang diculik Tim Mawar itu. Selain dia, siapa (Jenderal) yang
waktu itu juga melakukan penculikan seperti itu, siapa yang bertanggung
atas 13 aktivis yang masih hilang sampai hari ini, penanggung jawab
kerusuhan Mei 1998 yang sebenarnya, dan seterusnya. Tidak mungkin
Prabowo tidak tahu sama sekali mengenai misteri-misteri di balik salah
satu tragedi terburuk bangsa ini tersebut.
Seandainya ketika itu, dengan aksi-aksi penculikannya itu Prabowo cs
sukses mempertahankan kekuasaan rezim Presiden Soeharto, yang juga
mertuanya ketika itu, terus diwarisi sampai sekarang, apakah Prabowo
akan menjadi Prabowo seperti sekarang?
Ketika
itu semua pelaku (aktivis) pro-reformasi menentang rezim diktator
Soeharto adalah sama dengan musuh Prabowo Subianto, yang harus dia
tumpas. Tetapi, sekarang, setelah perjuangan reformasi yang menang
sampai terciptanya alam demokrasi seperti sekarang ini, Prabowo jugalah
yang ikut menikmatinya, sampai pada taraf pencalonan dirinya sebagai
presiden mendatang.
Yang
terjadi adalah kekuasaan Soeharto gagal dipertahankan. Rezim yang
berkuasa sekitar 32 tahun itu runtuh pada 21 Mei 1998. Setelah Habibie
menjadi Presiden mengganti Soeharto, sempat terjadi juga ketegangan
antara Habibie dengan Prabowo. Prabowo dicurigai hendak melakukan kudeta
dengan mengerahkan “pasukan tak dikenal” masuk Jakarta menuju Istana
Negara. Atas informasi dari Panglima ABRI Wiranto, Habibie pun mengambil
langkah tegas dengan memerintahkan Panglima ABRI memecat Prabowo
sebagai Pangkostrad hari itu juga, “sebelum matahari terbenam.” Prabowo
yang tidak terima dirinya dipecat, mendatangi kediaman Presiden Habibie,
terjadilah perdebatan hebat di antara mereka. Habibie tetap pada
pendiriannya.
Di
ujung kejatuhannya, sang mertua (Soeharto) juga kehilangan
kepercayaannya terhadap Prabowo. Soeharto lebih percaya Wiranto
ketimbang anak mantunya sendiri. Diikuti dengan terjadinya perceraian
antara Prabowo dengan Siti Hediati Hariyadi (Mbak Titiek), anak keempat
Soeharto.
Mempertanyakan Perintah Atasan
Protes
Prabowo kepada Presiden Habibie atas pemecatannya itu saja merupakan
suatu hal yang tidak lazim. Biasanya apa pun alasannya seorang perwira
TNI (ketika itu masih bernama ABRI) akan menerima perintah atasannya
terhadap dirinya, apalagi dari seorang Presiden sebagai Panglima
Tertinggi ABRI. Mempertanyakan perintah atasan terhadap dirinya, bukan
baru pertama kali ini dilakukan Prabowo.
Seperti yang ditulis oleh Letjen TNI (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, dalam bukunya Perjalanan Seorang Prajurit Parakomando (Penerbit Buku Kompas,
2009), pada Maret 1983, Prabowo yang waktu itu masih berusia 32 tahun
dengan pangkat Kapten, menjabat sebagai Wakil Komandan Kopassandha,
diam-diam mempersiapkan pasukannya dari Den 81 dengan maksud hendak
menculik para Jenderal, yakni, Letnan Jenderal Benny Moerdani dan
kawan-kawannya (antara lain Moerdiono, Sudharmono, dan Ginanjar
Kartasasmita), dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden
Soeharto. Jika itu sampai terjadi, kejadiannya mirip-mirip dengan
penculikan para Jenderal di tahun 1965.
Rencana
penculikan itu akhirnya gagal dijalankan karena tak ada satupun
dukungan yang diperoleh Prabowo dari petinggi ABRI di atasnya. Mayor
Luhut Pandjaitan yang menjadi atasan Prabowo menolak mengikuti saran
Prabowo untuk menggerakkan pasukan. Jenderal M. Jusuf yang ketika itu
adalah Menhankam/Panglima ABRI juga mengabaikan kecurigaan Prabowo.
Luhut sendiri menganggap bahwa Prabowo ketika itu sedang stress berat.
Karena
tindakannya itu, kemudian atas perintah KSAD Rudini, Prabowo
dipindahtugaskan ke Kostrad, dengan jabatan Wakil Komandan Batalyon.
Karena
pemutasian itu, Prabowo mempersoalkannya kepada pimpinannya ketika itu,
yaitu, Brigjen Sintong Panjaitan. Padahal, mempertanyakan keputusan
pimpinan adalah hal tabu bagi kalangan militer dan bisa berakibat
pemecatan, tetapi Prabowo melakukannya. Protes Prabowo pun kemudian
disampaikan Sintong Panjaitan kepada beberapa petinggi ABRI, tetapi
saran mereka agar Sintong melupakannya. Maklum anak mantu Soeharto,
penguasa yang paling ditakuti ketika itu.
Ingkar Jokowi vs Ingkar Prabowo
Apa yang dilakukan Prabowo itu jelas sudah merupakan suatu pengingkaran terhadap sumpah prajurit (ABRI/TNI).
Jika
dibandingkan dengan pengingkaran Jokowi terhadap komitmennya sebagai
Gubernur DKI Jakarta, — hal mana untuk tugas gubernur otomatis diganti
oleh wakilnya yang naik menjadi gubernur (jika Jokowi terpilih sebagai
presiden), pengingkaran mana yang jauh lebih berat? Pengingkaran Jokowi
atau pengingkaran Prabowo?
Yang
berusaha diciptakan saat ini adalah imej seolah-olah pengingkaran Jokowi
terhadap komitmennya itu sebagai Gubernur DKI Jakarta lauh lebih serius
daripada pengingkaran Prabowo Subianto terhadap sumpah prajuritnya itu.
Karena itu Jokowi harus terus dipermasalahkan, sedangkan rekam jejak
kelam Prabowo boleh diabaikan, dilupakan?
Masih sehatkah bangsa ini? ***
"Selamat datang dinegeri penuh pencitraan"
semoga dengan artikel ini para pemimpin negeri kita tersadar..amin
referensi:
http://politik.kompasiana.com/2014/04/17/ingkar-jokowi-vs-ingkar-prabowo-647508.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar