Masyarakat dan Agama
Disini
saya akan menceritakan pengalam pribadi saya dalam hidup bermasyarakat antar umat beragama, mungkin semuanya pasti perbah merasakan hidup bertetangga atau mempunyai teman yang berbeda agama dengan kita, seperti kita diindonesia, ada berbagai macam suku dan juga budaya agama yang sangat beragam.
- Pengertian Masyarakat
Masyarakat
adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto,
1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan
kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kepercayaan
lainnya. Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah
tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut
kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan
masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat
manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari
sudut pandang sosiologis.
Pandangan
sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap
masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang
diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan)
masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan
demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan.
Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi
agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah
lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan
berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan
fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban
sosial
Agama
telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime sebagai
sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin
individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab.
Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting
tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam
transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi
manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan
bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan. Dalam
kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara
berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta
gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para
sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok
lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori
yang lebih kecil dan khusus), yakni: Lembaga-lembaga politik yang ruang
lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan
secara sah. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi
barang dan jasa.
Lembaga-lembaga
integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan
seksual serta pengarahan terhadap golongan muda. Walaupun tampaknya, suatu
lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu,
namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara
fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan
cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).
Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai,
seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun
sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia.
Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk
menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak
omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai
yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk
struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan
ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat
memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang
bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara
sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi
dan modernisasi. Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan
warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya
disertai “dua muka” . Pada satu sisi , secara inherent agama
memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan
“primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas
yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Atau dengan kata
lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang
dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia,
tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan
politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah
mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama
empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti. Pemeluk agama-agama di
dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan
manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari
kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama
manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda
mati.Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari
para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk
memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang
universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal
teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan. Di
Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi
oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai
perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama
telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif
maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan
ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan
dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu
untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka
dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak
keluarganya dan orang-orang yang dikasihi. Sifat dan Fungsi Agama Dalam
Masyarakat Agama adalah fenomena hidup manusia. Dorongan untuk bergama, penghayatan
terhadap wujud agama serta bentuk pelaksanaanya dalam masyarakat bias
berbeda-beda, namun pada hakekatnya sama, yaitu, bahwa semua agama merupakan
jawaban terhadap kerinduan manusia yang paling dalam yang mengatasi semua
manusia. Pada hakekatnya seluruh manusia ini secara fithriah mempunyai potensi
untuk percaya kepada Yang Maha Esa dank arena agama yang mengajarkan tentang
konsepsi ketuhanan merupakan bagain yang tak terpisahkan dan kehidupan umat
manusia.
Agama
merupakan factor yang sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan
jutaan manusia. Agama seringkali menjadi motif dalam keputusan-keputusan
politik, social ekonomi, serta pernyataan-pernyataan kebudayaan. Agama dapat
mempersatukan dari berbagai suku dan bangsa di dunia ini. Agama dapat menjadi
tali pengikat persaudaraan yang kekal, yang melampaui batas-batas wilayah atau
georafi. Orang-orang beragama lebih dekat satu sama lain karena mereka mengenal
seperangkat nilai-nilai dasar sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Agama mempunyai 2 dimensi yaitu transcendental (ukhrowi) menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhannya dan mondial (duniawi) menyangkut hubungan
manusia dengan manusia lain dan lingkungan. Menurut DR. Nico Syukur Dister
ditinjau dari segi psikologi agama ada 4 macam motivasi kelakuan bergama :
1.
Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi
2.
Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3.
Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelak yang ingin tahu
4.
Agama sebagai sarana mengatasi ketakutan.
Tinjauan
ini bersifat fungsional, sedangkan dibalik itu masih ada motif lain yang lebih
dalam yang tidak bisa lepas dari sifat dan kodrat manusia itu sendiri. semoga bermanfaat atas informasi ini, dan mohon maaf bila ada kesalahan atau kesamaan, kawan :)
Referensi
:
http://www1.kompas.com/read/xml/2010/02/28/18144399/
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar